Skip to content

PEMBELAJARAN DARI FMU HESSEN FORST

December 14, 2011

Oleh : Yanyan Ruchiansyah – KPHP Batutegi – Provinsi Lampung

Awalnya, saya menganggap study tour ini hanya insentif yang diberikan oleh Kementerian Kehutanan (cq. Direktorat Jenderal Planologi -GIZ) untuk KPH yang sudah berjalan atau setidaknya mencoba untuk berjalan. Saya tidak terlalu berharap akan mendapatkan pengetahuan yang dapat diterapkan dilapangan, karena walaupun saya belum pernah ke Jerman sebelumnya tapi saya yakin ada banyak perbedaan antara Jerman dengan Indonesia sehingga pengetahuan apapun yang diperoleh tidak akan aplikatif. Setelah beberapa hari disini, ternyata saya benar bahwa ada banyak perbedaan dengan Indonesia, tapi saya juga ternyata salah karena dalam perbedaan itu banyak sekali yang bisa diambil sebagai pelajaran, beberapa perbedaan yang saya anggap penting diantaranya adalah :
KONDISI DI HESSEN KONDISI DI INDONESIA
1. Hutan di Hessen tersebar merata dengan luas yang kecil – kecil, namun secara kumulatif menutup wilayah Hessen sebanyak 42 %. Kawasan hutan cenderung mengelompok
2. Hutan di Jerman ‘less disturbance’ karena kesadaran dan kecintaan masyarakat tinggi terhadap keberadaan hutan Banyak sekali gangguan dan banyak pula pihak yang merasa ’berkepentingan’ terhadap hutan. Kesadaran banyak pihak masih belum cukup baik terhadap pentingnya hutan untuk kehidupan.
3. Hutan dimiliki oleh 3 (tiga) pihak, yaitu pemerintah, komunal dan pribadi dan untuk kawasan hutan milik negara sepenuhnya dikuasai oleh pemerintah pusat (negara bagian) sedangkan daerah (propinsi dan kabupaten) tidak memiliki kewenangan yang nyata Hutan adalah milik negara yang sebagian kewenangannya diberikan kepada daerah sesuai dengan fungsinya
4. Kawasan hutan memiliki multi fungsi (integrated forest management) dimana semua fungsi hutan dipelihara secara terus menerus pada areal yang sama. Terdapat 24 fungsi hutan tetapi semua bisa diambil kayunya dengan batasan tertentu sesuai dengan kondisi di areal tersebut. Kawasan hutan dibagi dalam 3 fungsi dengan batasan tertentu pada masing masing fungsi, yaitu fungsi konservasi, lindung dan produksi.
5. Hutan menjadi faktor utama dalam perencanaan penggunaan lahan, alih fungsi lahan hanya dapat terjadi setelah melalui proses panjang yang melibatkan banyak pihak dan adanya kepastian lahan pengganti bagi hutan yang akan dialihfungsikan Hutan belum menjadi faktor utama dalam perencanaan penggunaan lahan, sering kali kawasan hutan harus ‘mengalah’ karena adanya kepentingan lain yang dianggap ‘lebih penting’ (secara ekonomis).
6. Seluruh hutan telah dikelola secara intensif dan 77 % diantaranya dikelola oleh State Forest Enterprise Hessen Forst, sedangkan sebagian lainnya dikelola oleh masing-masing pemilik hutan dengan aturan pengelolaan yang telah ditentukan oleh pemerintah negara bagian. Hanya sebagian kecil hutan yang telah dikelola intensif, khususnya hutan yang berada di P Jawa dengan pengelola Perum Perhutani, sedangkan di luar Jawa walaupun secara aturan seharusnya terjadi pada HPH/ HPHTI tapi kenyataannya belum terjadi secara baik.
7. KPH merupakan bagian dari SFE HF dengan luas rata-rata 20.000 hektar dan dibagi dalam resort-resort dengan luas rata-rata 2.000 hektar. Pembatasan luas (2.000 ha untuk resort dan 10 resort untuk 1 KPH) dimaksudkan untuk kemudahan pengelolaan. KPH adalah institusi pemerintah, pegawainya adalah PNS, walaupun kedepan KPH akan didorong untuk menjadi BLU. Penetapan wilayah KPH berdasarkan DAS sehingga luasnya bisa sangat luas.
8. Pemerintah mengalokasikan anggaran untuk pengelola hutan sebagai subsidi untuk operasional, sedangkan sebagian besar lainnya diperoleh dari hasil pengelolaan hutan . Pemerintah menganggarkan sejumlah tertentu melalui APBN dan APBD termasuk untuk gaji pegawai KPH sebagaimana ketentuan bagi PNS
9. Monitoring pelaksanaan pekerjaan di lapangan dilakukan hanya melalui laporan yang diberikan oleh petugas secara berjenjang melalui IT sejak dari lapangan, hal itu sudah dianggap cukup dan akurat karena dapat dikatakan tidak pernah terjadi manipulasi data Monitoring dilakukan melalui pelaporan dan pengecekan ke lapangan tetapi masih terjadi ketidaksesuaian antara pelaksanaan pekerjaan dengan hasil monitoring. MENGAPA ?? saya kira semua tahu penyebabnya.

Dari perbedaan yang berhasil saya catat sampai dengan saat ini, ada beberapa hal yang bisa diambil sebagai pelajaran agar apa yang terjadi di Hessen juga bisa terjadi di Indonesia, yaitu :

1. Kesadaran masyarakat yang tinggi menjadi faktor utama dalam keberhasilan pengelolaan hutan sehingga pengelolaan hutan menjadi lebih mudah karena kawasan hutan less disturbance. Kecintaan ini perlu ditumbuhkan secara dini dan menjadi salah satu mata pelajaran tambahan secara on site bagi anak-anak.
2. Karena adanya kesadaran yang merata pada semua komponen masyarakat maka hutan menjadi faktor utama alam perencanaan penggunaan lahan dan pengawasan atas perubahan fungsi lahan dilaksanakan oleh semua pihak.
3. Dengan kondisi yang sudah mapan, Hessen Forst masih mendapat subsidi dari pemerintah
4. Penetapan wilayah KPH bisa saja berdasarkan DAS tetapi harus rasional dan manageble
5. Satu hal penting adalah ‘be in the field’ dan ‘get public and political support’ mudah-mudahan sepuluh tahun kedepan KPH di Indonesia tidak berada terlalu jauh dari Hessen Forst yang sekarang saya kunjungi.

No comments yet

Leave a comment